Rakyat adalah suatu konsep politik yang netral. Komsep ini
tidak mempersoalkan perbedaan orang dalam kepelbagaian sosial, ekonomi dan
budayanya. Semuanya sama. Ketika konsep rakyat diimbuhkan dengan konsep
ekonomi politik yang tidak lagi netral, karena berbagai perbedaan pelaku
ekonomi mulai diperhitungkan. Dalam kajian ini, konsep ekonomi kerakyatan
yang digunakan juga tidak bersifat netral, yaitu hanya menunjuk pada
pelaku ekonomi kecil (gurem) yang tersebar di sudut-sudut jalan perkotaan
maupun di pelosok perdesaan.
Di NTT, pelaku ekonomi sebagaimana dimaksud pada umumnya
terdiri dari petani kecil, peternak kecil, nelayan kecil dan pengrajin
kecil di perdesaan dan para pelaku sektor informal perkotaan. Bagi para
petani yang kebetulan memiliki wilayah yang cocok untuk komoditas
perkebunan seperti Cengkeh, Kopi, Vanili, Jambu Mete, tingkat ekonomi
mereka cukup memadai. Di Sabu dan Rote, sebagian pelaku ekonomi kecil di
pesisir pantai dikabarkan mengalami kemajuan berkat budidaya rumput laut.
Di Apui (Alor), sejumlah kelompok tani yang menanam vanili mendapat
penghasilan yang cukup besar lantaran harga komoditas ini cukup tinggi.
Namun bagi para petani yang mengandalkan tanaman pangan dengan wilayah
yang relatif kering, tingkat ekonomi mereka memprihatinkan. Para peternak
di TTS, betapapun daerah ini dikenal sebagai gudang ternak (sapi), tidak
menunjukkan status ekonomi yang lebih baik ketimbang para petani yang
menanam tanaman pangan. Demikian juga para nelayan kecil di pesisir pantai
Flores, Sumba, Alor dan Timor, kondisi mereka tidak dapat digolongkan
mampu secara ekonomis.
Para pelaku ekonomi kecil di sektor informal perkotaan juga
memperlihatkan kondisi yang relatif sama, walaupun mungkin pendapatan
nominalnya lebih besar dari para peternak kecil, petani kecil dan nelayan
kecil di perdesaan. Kecuali beberapa pelaku ekonomi informal yang berasal
dari Jawa, Sulawesi dan Sumatra yang pada umumnya berusaha di pusat kota,
kinerja ekonomi mereka terbilang cukup baik. Data makro tentang pendapatan
per kapita penduduk di berbagai kabupaten di NTT bisa menjelaskan kondisi
ekonomi para pelaku ekonomi kecil tersebut.
Tampilan fisik usaha para pelaku ekonomi kecil ini juga
memperihatinkan. Selain berjualan secara individual di pasar, mereka juga
menggelar hasil usahanya di pinggir jalan secara darurat. Mungkin juga
tidak setiap hari mereka bisa berjualan di pasar atau pinggir jalan karena
pola produksinya yang bersifat musiman. Unit usaha industri kecil atau
rumah tangga yang paling menonjol di NTT adalah industri tenun ikat.
Sejumlah kelompok usaha yang dibina intensif dengan kondisi SDM yang
relatif baik menunjukkan perkembangan yang baik, namun tidak sedikit
kelompok dan usaha individu menjadikan industri tenun ikat sebagai
pekerjaan sampingan dengan postur usaha yang serba kekurangan. Tampaknya
program-program pengentasan kemiskinan atau pemberdayaan ekonomi seperti
IDT, PDMDKE dan berbagai skim program/ pendanaan lainnya belum menyentuh
mereka atau mungkin sentuhannya sudah hilang sama sekali.
Inilah kondisi riil pelaku ekonomi kerakyatan di NTT. Pada
tataran political will pemerintah, pelaku ekonomi kerakyatan yang
serba kekurangan ini ingin ditempatkan sebagai pelaku ekonomi utama,
fondasi perekonomian daerah dan sejumlah julukan yang membanggakan.
Pemerintah, dari pusat sampai daerah, telah melakukan banyak hal untuk
memajukan mereka, tetapi kondisinya tetap seperti kita saksikan saat ini,
sebagian besar dalam kondisi serba miskin.
Data ekonomi makro Indonesia bahwa share pelaku
ekonomi kecil ini cukup kelihatan. Para pengamat ekonomi memuji pelaku
ekonomi kecil ini sebagai lentur dan tahan terhadap konjungtus dan krisis
ekonomi. Pujian demikian tidak salah, namun pelaku ekonomi kecil semacam
ini pasti buka di NTT. Pada titik inilah kita harus membedakan secara
jelas petani kecil, peternak kcil, nelayan kecil, pelaku industri rumah
tangga kecil dan pelaku ekonomi sektor informal perkotaan di Jawa dan kota
besar lainnya di Indonesia dengan NTT. Lingkungan ekonomi makro dan
mikronya sangat kontras berbeda. Suatu isyarat bahwa suatu kebijakan
pengembangan yang berhasil di Jawa dan kota besar lainnya di Indonesia
belum tentu berhasil di NTT.
Menurut hemat saya, menjadikan pelaku ekonomi kerakyatan yang
serba kecil dan kekurangan di NTT sebagai pemain ekonomi yang utama atau
sebagai fondasi ekonomi daerah, masih membutuhkan waktu yang relatif lama
dan yang lebih penting dari itu, membutuhkan wawasan dan perlakuan baru
terutama dari para penentu dan pelaksana kebijakan pada tingkat
pemerintahan. Secara teoretis, kita mengenal cukup banyak konsep
pemberdayaan usaha kecil seperti kemitraan, bapak angkat, inti-plasma dan
sebagainya. Konsep-konsep ini telah diadopsi sedemikian rupa ke dalam
berbagai program pemberdayaan ekonomi yang dilaksanakan pemerintah maupun
swasta, tetapi belum berhasil mengeluarkan para pelaku ekonomi kecil dari
lingkaran yang serba kekurangan.
Jauh dari Permintaan dan Miskin Kelembagaan
Salah satu persoalan yang menjadikan pelaku ekonomi
kerakyatan di perdesaan NTT sulit berkembang adalah bahwa mereka jauh dari
permintaan (pasar). Jauh bukan hanya dalam arti fisik saja, tetapi lebih
penting adalah aksesibilitas. Mereka memasuki pasar pembeli (buyer
market) secara individual tanpa dukungan kelembagaan yang memadai.
Akibatnya, posisi tawar mereka sangat lemah. Petani Vanili di Apui (Alor)
yang baru saja menikmati harga vanili yang tinggi, saay ini mulai
merasakan bahwa harga vanili sangat ditentukan oleh pembeli (pedagang
skala menengah dan besar). Para peternak di TTS sudah sejak lama takluk
dengan para pembeli (pedagang). Penghasil rumput laut di Rote dan Sabu
juga mulai merasakan betapa fluktuasi harga yang terjadi sulit mereka
kendalikan. Sementara itu sebagian nelayan di Pulau Timor secara
perlahan-lahan telah bertransformasi menjadi buruh nelayan.
Para pembeli memiliki organisasi yang solid. Mereka
bahu-membahu menjalin kekuatan untuk menguasai dan mendikte harga pasar.
Organisasi pembeli yang kuat tersebut tidak bisa dilawan oleh para petani
secara individual. Organisasi harus dilawan dengan organisasi pula, agar
tercapai keseimbangan posisi tawar di pasar. Apakah koperasi sebagai
lembaga ekonomi yang dekat dengan para petani, nelayan, peternak,
pengrajin dan pedagang kecil dapat menjadi organisasi ekonomi yang
diandalkan untuk meningkatkan posisi tawar mereka di pasar? Sangat sulit
untuk mengatakan Ya. Kita masih membutuhkan wadah ekonomi lain atau
sekurang-kurangnya cara penanganan pasar sedemikian rupa sehingga
aksesibilas pasar dan posisi tawar mereka dapat ditingkatkan. Dalam kaitan
ini menarik untuk disimak lebih lanjut langkah Pemda Kabupaten Kupang. Dua
Perusahaan Daerah, masing-masing bergerak di bidang kelautan dan
agribisnis didirikan sebagai outlet bagi para pelaku ekonomi kecil.
Sekiranya langkah ini mampu meningkatkan posisi tawar para pelaku ekonomi
kecil dan mampu meningkatkan kinerja ekonomi mereka, maka inilah salah
satu langkah yang dapat dipertimbangkan untuk direplikasi pada daerah
lain.
Formasi Ekonomi Makro dan Mikro
Salah satu keuntungan pelaku ekonomi kecil dan sektor
informal perkotaan di Jawa dan kota besar lainnya adalah struktur
ekonominya telah terdiversifikasi dengan baik sehingga hubungan fungsional
antar sektor ekonomi (pertanian, industri, perdagangan, perhubungan dan
lembaga keuangan) telah terjadi dengan baik. Kondisi ini sangat kondusif
bagi para pelaku ekonomi kecil. Dengan tingkat pendapatan masyarakat yang
relatif tinggi serta kompetisi yang baik antar sektor ekonomi menjadikan outlet
bagi produk pelaku ekonomi kecil cukup tersedia dengan insentif harga yang
memadai. Demikian juga pada tataran ekonomi mikro, dinamika dunia usaha
yang relatif tinggi menjadi media pembelajaran yang efektif dalam
pembentukan perilaku ekonomi yang rasional dan produktif. Sikap
kewiraswastaan mereka terbentuk dalam dinamika dunia usaha yang tinggi,
bukan melalui pelatihan-pelatihan formal. Inilah formasi ekonomi makro dan
mikro yang sangat kondusif bagi pelaku ekonomi kecil di Jawa dan kota
besar lainnya untuk berkembang.
Di NTT, struktur ekonomi belum terdiversifikasi dengan baik
menjadikan hubungan fungsional antar sektor ekonomi belum terjalin baik. Share
sektor pertanian sangat menonjol sementara share sektor
industri sangat kecil. Pada sisi lain share sektor perdagangan dan
perhubungan sedikit agak menonjol. Dari kondisi semacam ini dapat
dibayangkan bahwa yang diperdagangkan adalah komoditas pertanian tanpa
penglahan yang berarti. Ciri pasar komoditas semacam ini adalah harga
relatif rendah dan inferior terhadap komoditas hasil olahan yang diimpor
dari luar. Para pelaku ekonomi kecil tidak menikmati nilai tambah dari
komoditas yang dihasilkan.
Dalam kondisi semacam ini, pengembangan pelaku ekonomi kecil
membutuhkan perubahan yang cukup berarti pada formasi ekonomi makro dan
mikro. Perlu ada kebijakan untuk percepatan perubahan struktur ekonomi NTT
agar keterkaitan fungsional antar sektor ekonomi dapat tercipta.
Berkembangnya sektor ekonomi sekunder dan tersier menjadi prasyarat bagi
pengembangan dunia usaha pada aras ekonomi mikro. Menjadi persoalan adalah
bagaimana percepatan perubahan struktur ekonomi ini dapat terjadi. Secara
teoretis, perubahan struktur ekonomi akan terjadi bila aliran investasi
pada sektor industri pengolahan (sekunder) meningkat. Sektor rkonomi
tersier adalah sektor yang melayani. Karena itu sektor ini akan
menyesuaikan diri dengan perkembangan yang terjadi pada sektor primer dan
sekunder.
Berkembangnya sektor ekonomi sekunder akan menciptakan
peluang bagi dinamika dunia usaha. Perilaku ekonomi atau sikap
kewirausahaan merupakan fungsi dari dinamika dunia usaha. Jangan
dipaksakan dengan berbagai pelatihan kewirausahaan bila formasi ekonomi
makroo dan mikro tidak kondusif. Dorong perkembangan dunia usaha melalui
percepatan perubahan struktur ekonomi, agar tercipta media pembelajaran
yang luas bagi pelaku ekonomi kecil untuk mematangkan perilaku ekonomi
atau sikap kewirausahaannya. Melalui pendekatan semacam ini diharapkan
pelaku ekonomi kerakyatan dapat berkembang menjadi fondasi ekonomi yang
kokoh bagi perekonomian daerah.
Ancangan Perencanaan
Berbagai perubahan yang diinginkan terhadap pelaku ekonomi
kecil butuh perencanaan yang baik dan perencanaan yang baik muncul dari
suatu visi pengembangan usaha kecil yang jelas pula. Pertanyaannya, adakah
visi kita yang jelas tentang usaha kecil? Cukupkah dokumen perencanaan
yang ada (Poldas, propeda dan Renstra) memberi tempat bagi pengembangan
usaha kecil secara terpadu dan berkesinambungan? Bagaimana strateginya
menjadikan usaha kecil sebagai sokoguru perekonomian daerah?
Sampai sejauh ini kita belum melihat adanya visi yang jelas
tentang pelaku ekonomi kecil, selain retorika tentang mereka. Menurut
hemat saya, Kepala Daerah harus berani merumuskan visi yang jelas tentang
pengembangan pelaku ekonomi kerakyatan. Bila pemerintah menginginkan
pelaku ekonomi kecil menjadi fondasi perekonomian daerah, maka Kepala
Daerah harus berani merumuskan visi bahwa dalam jangka waktu lima atau 10
tahun mendatang, PDRB NTT akan didominasi share pelaku ekonomi
kecil. Visi semacam ini diperlukan agar ada komitmen dan daya paksa untuk
menjabarkan visi tersebut dalam perencanaan yang baik.
Berkaitan dengan representasi pengembangan usaha kecil dalam
dokumen perencanaan yang ada, harus diakui bahwa format perencanaan
standar yang ada saat ini (Poldas, Propeda dan Rentra) tidak memungkinkan
rencana pengembangan pelaku ekonomi kecil sebagai inti dari pengembangan
ekonomi rakyat diakomodasi dengan baik. Karena itu perlu terobosan dari
sisi perencanaan. Rencana Pengembangan Pelaku Ekonomi Kecil dapat
dijadikan subsidiary plan dari Propeda atau Renstra yang
keabsahannya dilegitimasi juga oleh Perda. Subsidiary plan adalah
produk perencanaan sejumlah instansi yang berkaitan langsung dengan usaha
kecil yang penyusunannya dikoordinasi Bappeda dan melibatkan representasi
pelaku ekonomi skala menengah dan besar. Dari segi pendanaan tidak ada
masalah, karena dalam format APBD yang baru, yang menggunakan program
sebagai nomenklatur generik serta format pengusulan untuk mendapatkan
pembiayaan dekonsentrasi, pembiayaan terhadap subsidiary plan tersebut
dapat diakomodasi.
Subsidiary plan tersebut paling kurang berisikan
lima hal pokok yaitu Visi dan Misi, strategi yang digunakan,
program-program lintas instansi yang akan dilaksanakan, pembiayaan dan guide
line pengelolaannya. Untuk itu diperlukan suatu pengkajian mendalam
mengenai eksistensi pelaku ekonomi kecil saat ini. Seluruh program yang
berkaitan dengan mereka perlu dievaluasi tuntas dan yang paling penting
mesti ada wawasan baru tentangnya. Misalnya dalam perumusan kebijakan
fiskal daerah (APBD), sebagian dari pos belanja modal yang dianggarkan
dapat diarahkan sebagai kapitalisasi pelaku ekonomi kecil. Denganstrategi,
pedekatan, program aksi dan pengelolaan yang jelas, kapitalisasi pelaku
ekonomi kecil tersebut dapat menjadi pemicu bagi berkembangnya aktivitas
usaha pelaku ekonomi kecil.
Perlu Regulasi bagi Pelaku Ekonomi Kecil
Esensi regulasi adalah untuk menciptakan keteraturan,
kepastian hukum dan komitmen yang jelas dalam pengembangan UKM. Bila
urusan-urusan ekonomi lainnya diregulasi oleh Pemerintah Daerah, maka
perangkat hukum dalam bentuk Perda tentang pelaku ekonomi kecil atau UKM
perlu dibuat. Perda ini sangat penting, terutama bagi pelaku UKM untuk
menuntut dan mengontrol pemerintah agar bersungguh-sungguh dalam
mengembangkan UKM. Tanpa Perda ini, wacana tentang UKM ibarat macan
ompong. Gaungnya kedengaran keras di mana-mana, tetapi ia tak punya gigi.
Demikianlah beberapa pokok pikiran tentang pengembangan ekonomi kerakyatan
di NTT. Semoga berguna. Sekian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar